Kamis, 22 Oktober 2009

Kelebihan Informasi

Akses informasi yang seluas-luasnya pada hakikatnya merupakan hak setiap warga negara. Dan negara berkewajiban menyediakan prasarana yang memungkinkan hal itu terlaksana. Namun, kondisi geografis Indonesia yang merupakan rangkaian kepulauan, menjadikan hal itu sangat sulit direalisasikan sesuai dengan harapan.

Infrastuktur penetrasi teknologi informasi tidak jarang berprioritas pada daerah dengan kondisi ekonomi yang menguntungkan. Hal ini dapat dimaklumi, karena pelaku usaha teknologi informasi jelas memperhitungkan segi komersialnya. Kondisi ini menjadikan daerah dengan pendapatan minim, kurang dilirik sebagai perluasan jaringan informasi. Walaupun beberapa operator jaringan selular telah berupaya melakukan penetrasi sampai ke daerah terpencil. Tapi, sebagian besar daerah kepulauan masih sangat minim akses informasi.

Demikian halnya dengan kondisi Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Infrastruktur utama teknologi informasinya sangat minim. Mari kita lihat kondisinya:

  • Media Cetak. Beberapa Koran Lokal memang telah masuk di Sitaro, misalnya Manado Post, Komentar, Swara Kita. Namun karena tidak saban hari kapal datang dari Manado, menjadikan koran lokal ini harus datang 3 edisi sekaligus. Untuk edisi hari Jumat, Sabtu, Minggu dan Senin, masyarakat Sitaro harus membacanya pada hari Selasa. Sehingga, loper koran enggan menjualnya. Jadinya, hanya pejabat dilingkup Pemkab yang bisa membacanya karena sudah berlangganan. Dan, Sitaro belum memiliki Media Cetak Lokal sendiri.
  • Siaran Radio. Kondisi Pulau Siau yang bergunung-gunung menjadikan signal Radio FM sulit dijangkau. Alhasil hanya Radio pada frekwensi pendek yang bisa didengar masyarakat. Dan perlu diketahui, sama halnya dengan Media Cetak, Sitaro belum memiliki satupun stasion Radio lokal.
  • Siaran Televisi. Hanya ada satu cara untuk menonton siaran televisi di Pulau Siau. Parabola. Jadi jangan harap masyarakat yang tidak memiliki antena parabola bisa menonton siaran televisi. Memang di daerah Siau Barat Selatan terdapat beberapa titik yang bisa menangkap frekwensi siaran televisi dari Manado, tapi itu hanya terbatas di daerah Kapeta dan Tanaki.
  • Jaringan Telepon Telkom. Sampai saat tulisan ini dibuat, di Pulau Siau hanya di Ulu yang memiliki jaringan Telepon tetap. Bahkan di Ondong sebagai Ibukota Kabupaten pun belum ada jaringan PSTN. Di Tagulandang sendiri, hanya disekitar Kecamatan Tagulandang saja.
  • Jaringan Telepon Selular. Kalau yang ini kita patut berterimakasih kepada Telkomsel. Karena penetrasi yang mereka lakukan terbilang sangat membantu, walau belum bisa dikatakan maksimal. Di Pulau Siau sendiri telah ada beberapa BTS, di Ulu, Balirangen, Talawid, Paniki dan beberapa tempat lainnya. Demikian pula di Pulau Tagulandang dan Biaro. Walau belum bisa menjangkau semua wilayah Sitaro, namun paling tidak kurang lebih 1/3 wilayah Sitaro telah bisa dijangkau signal selular.
  • Akses Internet. Dengan kondisi diatas, apa yang kita bisa harapkan dengan akses internet?. Jaringan PSTN dengan kapasitas bandwitch yang sangat rendah, membuat akses Telkomnet Instant berjalan layaknya siput. GPRS merupakan satu-satunya cara. Tapi bersediakah kita dengan biaya akses yang mahal?

Kondisi infrastuktur teknologi infrmasi diatas membuat akses masyarakat terhadap informasi menjadi kurang memadai. Tidak jarang, masyarakat di Pulau Siau harus menunggu sekian lama untuk mendengarkan berita yang telah basi. Keluhan Kapitalau (Kepala Desa) Makalehi yang pulaunya tidak bisa diakses jaringan komunikasi sama sekali bisa menjadi cermin. Tidak jarang, Desa Makalehi tidak sempat mengikuti rapat-rapat penting di Kecamatan dan Kabupaten hanya karena pemberitahuan yang datang terlambat. Betapa tidak, untuk menyampaikan kabar atau surat ke Pulau Makalehi, Camat Siau Timur harus menitipnya ke Perahu Motor yang tidak saban hari ke Pulau Makalehi.

Jadi, jangan berharap masyarakat Pulau Makalehi bisa belajar banyak dari luar daerah. Satu-satunya akses informasi yang mereka bisa gapai hanyalah penuturan orang yang baru datang dari Pulau Siau. Informasi yang dituturkan ini jelas punya bias dan tidak lepas dari interprestasi pribadi. Sehingga rentan terhadap manipulasi. Kondisi ini pula yang hampir berlaku umum pada masyarakat Sitaro. Masyarakat banyak kali mengandalkan pemberitaan dari mulut ke mulut. Dan karena tidak adanya media komparasi, membuat masyarakat gampang sekali direcoki dengan informasi yang manipulatif.

Sebagai contoh sewaktu Pilkada lalu. Dari hasil penetapan Pleno KPUD, pasangan Supit – Kuerah telah ditetapkan sebagai pemenang. Namun, beberapa pendukung fanatik Matimade yang tetap bersikeras tetap menghembuskan berita bahwa merekalah yang menang. Akibatnya, sebagian masyarakat tetap percaya bahwa Matimade-lah sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Bahkan sampai hari pelantikan, banyak masyarakat yang mengira bahwa yang akan dilantik adalah Martinus Manoi dan Denny Tindas. Hal ini bisa terjadi, karena masyarakat yang percaya terhadap berita itu, tidak punya akses informasi lain selain penuturan dari mulut ke mulut. Jangankan baca koran, dengar radio saja tidak.

Keterbatasan akses informasi ini juga membuat masyarakat Sitaro terbatas dalam mengembangkan diri. Apa yang mau dikembangkan jika tidak tersedia bahan literar sebagai sarana belajar. Masyarakat mau belajar apa dan darimana. Kalaupun keinginan itu ada, mereka mau baca darimana. Tidak ada perpustakaan umum dan perpustakaan desa di Sitaro. (beberapa waktu lalu, saya sempat mendengar proyek perpustakaan desa yang akan masuk ke Sitaro, namun keberadaannya belum sempat saya konfirmasi). Jadinya, pengetahuan masyarakat hanya itu-itu saja.

Pengembangan diri hanya bisa terlaksana jika tersedia bahan pembelajaran yang memadai. Dan salah satu bahan pembelajaran itu adalah bahan literar. Bagi masyarakat umum, literatur bisa diperoleh dari media informasi seperti koran, siaran radio dan televisi. Lewat belajar dari media massa ini, masyarakat akan lebih terbuka pikiran dan wawasannya. Sehingga, dia akan menjadi lebih modern dalam berpikir dan bertindak. Menjaga cara-cara tradisional dengan kearifan lokal yang benar.

Sudah saatnya, kita memikirkan bersama bagaimana penetrasi teknologi informasi itu bisa menjangkau secara luas masyarakat Sitaro. Mereka juga punya hak untuk mendapatkan informasi yang benar. Dan kita yang punya “kelebihan informasi” ini selayaknya punya sikap berbagai dengan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar